A. Pendahuluan
Islam adalah agama yang paling
sempurna dan komprehensif, mencakup dan mengatur segala urusan kehidupan
manusia, baik yang berkaitan dengan masalah akidah (keyakinan), ibadah
(ritual), muamalah (interaksi sesama makhluk), ekonomi, politik, maupun akhlak
dan adab.
Di antara bentuk muamalah yang
diatur dalam ajaran Islam adalah masalah (pengalihan utang), atau dalam istilah
syariah dinamakan dengan "al-hiwalah". Pengalihan utang ini telah
dibenarkan oleh syariat dan telah dipraktekan sejak zaman nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Allah SWT
telah berfirman:
Artinya:” Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertaqwalah
kepada Allah, sungguh Allah sangat berat siksa-Nya”.
Dalam ayat diatas menerangkan bahwa
setiap kaum muslimin diperintahkan untuk saling tolong-menolong satu sama lain.
Akad hawalah merupakan suatu bentuk saling tolong-menolong yang merupakan
bentuk manifestasi dari semangat ayat tersebut. Untuk lebih jelasnya, akan kami
sebutkan permasalahan seputar hiwalah dalam pembahasan berikut ini.
B. Rumusan
Masalah
Dari uraian latar belakang diatas kami dapat membuat beberapa
rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa
pengertian hiwalah itu?
2.
Apa
jenis-jenis hiwalah itu?
3.
Apa
rukun dan syarat hiwalah?
4.
Bagaimana
beban muhil setelah hiwalah?
C. Pembahasan
a. Pengertian
Hiwalah
Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah
al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah memindahkan atau mengoperkan. Maka
Abdurrahman al-Jaziri, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut
bahasa ialah:
النّقل من محلّ إلى محل
Artinya: “Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain.”[1][2]
Sedangkan pengertian
hiwalah secara istilah, menurut Idris Ahmad, hiwalah adalah semacam akad (ijab Kabul)
pemindahan utang dari
tanggungan
seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana orang lain itu mempunyai utang pula kepada yang
memindahkanya.
Gambaran sederhananya adalah: Si A (muhal)
memberi pinjaman kepada si B (muhil), sedangkan si B masih mempunyai piutang
pada si C (muhal ‘alaih). Begitu si B tidak mampu membayar utangnya pada si A,
ia mengalihkan beban utang tersebut kepada si C. Dengan demikian, si C yang
harus membayar utang si B kepada si A, sedangkan utang si C sebelumnya yang ada
pada si B dianggap selesai.
Landasan hukum yang memperbolehkanya melakukan
hiwalah yaitu dengan dalil dari hadits nabi Muhammad SAW, yaitu:
Artinya :”
dari Abi Hurairah, ia berkata : telah bersabda Rosulullah SAW. : Penahanan
orang yang mampu itu satu kezhaliman
; dan apabila seorang dari pada kamu diserahkan kepada seorang yang mamapu ,
hendaklah ia menerima serahan itu.
Muttafaq ‘alaih ; dan pada suatu riwayat oleh ahmad (sabdanya): dan barang
siapa dihiwalahkan hendaklah ia terima”.[2][4]
b.
Jenis al-Hiwalah
Mazhab Hanafi membagi al-hiwalah dalam beberapa
bagian:
Ditinjau dari segi objek akad, al-hiwalah dibagi
menjadi dua jenis:
1.
Hiwalahal-haq(pengalihanhak piutang), yaitu
apabila yang dialihkan itu merupakan hak untuk menuntut pembayaran utang.
2.
Hiwalah ad-dain (pengalihan utang), yaitu
apabila yang dialihkan itu adalah kewajiba untuk membayarutang.
Ditinjau dari jenis akad, hiwalah dibagi menjadi
dua jenis:
1.
Al-hiwalah al-muqayyadah (pengalihan bersyarat),
yaitu pengalihan sebagai ganti dari pembayaran utang muhil (pihak pertama)
kepada muhal (pihak kedua). Sebagai
contoh: A memberi piutang kepada B sebesar 5 juta, sedangkan B memberi piutang
kepada C sebesar 5 juta. Kemudian, B mengalihkan haknya untuk menuntut
piutangnya yang berada pada C kepada A, sebagai ganti pembayaran utang B kepada
A. Dengan demikian, al-hiwalah
al-muqayyadah pada satu sisi merupakan hiwalah al-haq karena mengalihkan hak
menuntut piutangnya dari C ke A (pengalihan hak). Pada sisi lain, al-hiwalah
al-muqayyadah sekaligus merupakan hiwalah ad-dain karena kewajiban B kepada A
dialihkan menjadi kewajiban C kepada A (pengalihan utang).
2.
Al-hiwalah al-muthlaqah (pengalihan mutlak),
yaitu pengalihan utang yang tidak ditegaskan sebagai ganti rugi dari pembayaran
utang muhil (pihak pertama) kepada muhal(pihakkedua). Sebagai contoh: A berutang kepada B sebesar 5 juta. Kemudian, A
mengalihkan utangnya kepada C, sehingga C berkewajiban membayar utang A kepada
B, tanpa menyebutkan bahwa pemindahan utang tersebut sebagai ganti rugi dari
pembayaran utang C kepada A. Dengan
demikian, al-hiwalah al-muthlaqah hanya mengandung hiwalah ad-dain karena yang
terjadi hanya: utang A kepada B dipindahkan menjadi utang C kepada B.[3][5]
c. Rukun dan Syarat Hiwalah
Menurut Mazhab Hanafi, rukun al-hiwalah hanya
ijab (pernyataan melakukan al-hiwalah) dari muhil (pihak pertama) dan qabul
(pernyataan menerima al-hiwalah) dari muhal (pihak kedua) kepada muhal ‘alaih
(pihak ketiga).
Menurut Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, rukun hiwalah ada enam:
Menurut Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, rukun hiwalah ada enam:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar